Rabu, 02 April 2008

Monolog

Roman Warung Uyum

Oleh : Galing Aresya*

Warung uyum adalah sebuah tempat yang berada di ujung timur Kecamatan Cijaku, kecamatan yang kira-kira baru sekitar sewindu arkan diri, pasalnya, seitar tahun 1997-an kecamatan ini masih bergabung dengan kecamatan Malingping. Kabupaten Lebak. Banten. Secara leterlek Warung berarti tempat orang jualan kelontongan atau kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan pangan yang berbentuk sembako. Sedangkan Uyum adalah nama pemilikinya.

Warung Uyum tersebut, barada di perapatan yang tak berpenghuni. Hanya Uyum-lah yang Bermukim di perapatan itu. Menjajakan dagangannya, demi mencukupi kebutuhan warga penduduk yang berada disektiarnya dalam hal penyediaan pangan. Keadaan seperti ini terjadi kira-kira satu setengah abad yang silam. Saat para penjajah masih bercokol di negeri Indonesia tercinta ini.

Waktu terus berputar. Seiring dengan berputarnya waktu, penduduk pun semakin bertambah. Disebabkan karena tingkat kelahiran yang tinggi juga perpindahan warga dari asalnya di kebun-kebun kini pindah perkampungan. Kini Warung Uyum, yang dulunya hanya sebuah bangunan yang berdinding kayu dengan atap yang terbuat dari pelepah pohon rumbia, sudah ditemani oleh beberapa bangunan lain yang berjejer di sebelah kanan kirinya. Ada rumah anak Uyum. Tetangga yang baru pindah dari kampung sebelah. Juga bangunan warung yang pemiliknya bertempat tinggal di kota malingping. Dan saat itu warung uyum menjadi pasar rametuk[1].

Warung uyum biasanya ramai (jadi pasar) setiap akhir pekan, yaitu Sabtu dan Minggu. Pada hari libur tersebut, warga kampung yang berada di sekitar daerah itu, berbondong-bondong menuju warung uyum. Karena stiap hari Sabtu dan Minggu warung uyum ramai dengan para penjual sembako dari luar daerah setempat. Juga oleh para tokeh (pembeli) hasil pertanian.

Para penduduk kampung skitar (Cipancur, Cilangkahan, Cipeundeuy dan sekitarnya). Membawa hasil pertanian mereka seperti Gula Aren, buah Kupa, Manggis, Dukuh dengan berbagai jenis, juga Durian dan Rambutan. Itu pun hanya ketika sedang musim buah-buahan. Karana jika bukan musim berbuah mereka pun susah untuk mendapatkan buah-buahan tersebut. Maka mereka hanya akan membawa gula aren saja. Karena komoditi itu yang bisa diandalkan mereka dengan tidak mengenal musim panen dan musim cocok tanam.

Dari sekian banyak pengunjung ada yang membawa hasil pertaniannya, ada juga yang hanya kuli mikul[2], dengan imbalan lumayan besar menurut mereka. Alasannya, dengan imbalan yang diberikan tersebut, mereka bisa memebeli ikan Asin Peda[3] untuk lauk dalam makannya selama satu minggu ke depan.

Yang mengerjakan pekerjaan tersebut, terdiri dari anak usia SD hingga orang tua yang sudah renta, mereka ikut memikul barang-barang dagangan demi mencicipi nikmatnya makan dengan ikan asin peda tersebut. Dengan berjalan kaki hingga dua puluh kilo meter, mereka (para kuli mikul) membawa gula aren dengan berat timbangannya hingga empat puluh kilo gram. Tidak jarang halangan dan rintangan datang menghadang,. Mulai dari serudukan babi hutan, sampai jalanan licin dikala musim hujan tiba. Mereka harus merangkak menyusuri jalan yang terjal, dengan gundukan batu besar bercampur tanah merah licin yang siap melemparkan tubuh siapa saja yang menginjaknya jika tidak siap-siap terlebih dahulu.

Sepanjang perjalanan menuju warung uyum. Mereka (para kuli mikul) diselimuti oleh kabut tebal. Kabut yang ditimbulkan karena tidak ada sinar matahari masuk kedaerah tersebut. Dan, jika bola pusat tata surya belum berada lurus di atas kepala mereka, maka sinarnya tidak akan berani menampakan diri. Bukan karena mataharinya yang malu-malu, namun karena jalan yang terjal penuh belokan tersebut, diapit hutan yang dihiasi kayu-kayu berukuran besar yang menutupi langit dari pandangan manusia yang menginjakan kaki dibawahnya. Pohon-pohon tersebut dihuni oleh kera dan lutung-lutung yang bergelantungan di setiap dahannya. Mereka meyakini bahwa mahluk hutan tersebut, sebagai jelmaan nenek moyang-nya yang telah lebih dulu meninggalkan mereka. Dan jika mereka meninggal, akan menjadi seperti itu. Padahal mereka beragamakan Islam dan bukan kaum Darwinisme. Akan tetapi paham tersebut telah melekat erat dalam prinsip hidup mereka, sehingga tidak boleh siapa pun ada yang mengganggu kehidupan para satwa yang anatomi tubuhnya hampir sama dengan manusia tersebut. Baik orang pribumi atau luar dari kamung tersebut.

Kegiatan prekonomian seperti saya ceritakan di atas, bisa dibilang sebuah kemajuan bagi para penduduk yang tinggal di daerah sekitar warung uyum. Karena, jauh sebelum itu, mereka tidak bisa menjual hasil pertaniannya. Tidak ada tempat. Tidak ada pembeli. Tidak ada pertukaran barang dengan uang. Yang ada hanya saling barter dengan pendduduk lainnya. Itu pun jika masih ada sisa dari jarahan para penajajah yang bersembunyi di goa yang berada di lereng bukit yang berada tidak jauh dari tempat tinggal penduduk daerah tersebut.

Konon katnya. Kampung tersebut dijadikan sebagai tempat persembunyian para penjajah yang pada saat itu Indonesia sudah diproklamirkan oleh bung Karno dan bung Hatta. Mereka (para penjajah) adalah para prajurit perang asal belanda yang waktu Indonesia diambil alih oleh Jepang prajurit tersebut sedang bertugas melebarkan jajahannya ke daerah Banten bagian selatan. Sehingga ketika tentara Jepang sudah menjajah Indonesia, mereka (para penjajah) tidak berani kembali ke kota. Mereka memilih menetap di daerah tersebut dan bermukim di goa-goa yang ada di bukit-bukit.

Yang namanya penjajah walau pun sudah ketakutan dan sedang bersembunyi mereka masih saja melakukan pemerasan terhadap penduduk di bawah bukit yang menjadi tempat persembunyian mereka. Karena hanya itulah mungkin yang bisa mereka lakukan, maka cara penjajah menyambung hidupnya dengan memanfaatkan persenjataan yang masih merka miliki untuk memaksa masyarakat setempat agar mau memberikan hasil pertaniannya. Maka tidak jarang banyak penduduk yang mengalami nasib nahas jika kebetulan para bekas penjajah tersebut menyambangi rumah mereka dengan tidak ada persediaan yang harus mereka berikan.

Selain untuk mencukupi kebutuhan perutnya. Para penjajah yang disebuat penghuni kampung setemapat Gorombolan[4] itu biasa mengambil janda-janda yang masih molek, bahkan tidak jarang anak perawan penduduk pun menjadi santapan napsu bejad para Gorombolan biadab tersebut.

Diceritakan oleh seorang wanita yang umurnya sekarang kira-kira menginjak kepala lima. Sebab menurut ia, waktu jaman Gorombolan tersebut dirinya berumur sekitar sepuluh tahunan karena masih duduk di kelas satu SR (Sekolah Rakyat). Ia mengatakan dirinya pernah menyaksikan ayahnya yang pada saat itu ayahnya berkedudukan sebagai tentara rakyat ditodongi senjata karena tidak mau memberikan hasil pertaniannya. Padahal menurut wanita separuh baya tersebut ayahnya bukan tidak mau memberi mereka beras dan ikan mas namun karena kebetulan beras dan lauk yang mereka punya sudah habis oleh mereka minggu lalu.

Tiap mendatangi rumah penduduk gerombolan tersebut berjumlah lima hingga sepuluh orang. Ada taktik yang diketahui wanita tersebut bahwa untuk menghilangkan jejak mereka (Gorombolan) mereka berjalan dengan satu arah artinya hanya menghadap ke muka gu jika sudah berada di depan pintunya. Maka jika para penduduk atau siapa pun orang yang kebetulan melihat pintu goa tersebut tidak akan pernah mengira kalau goa tersebut ada penghuninya karena dari mulut goa hanya ada satu arah kaki. Cara yang mereka lakukan yaitu dengan berjalan mundur apabila sudah mendekati pintu goa atau memasukinya.

Serapih-rapihnya orang menyimpan bangkai akhirnya kecium juga busuknya. Begitulah pepatahnya karena setelah lama para penduduk dijajah dalam negara yang sudah merdeka oleh sisa penjajah yang ketakutan, dan bersembunyi didekat kampungnya akhirnya usai sudah. Karena para gorombolan tersebut dijarah oleh tentara negara Indonesia, dan diporak porandakan keberadaannya. Sesudah terporak porandanya tempat mereka (Para Gorombolan) itu. Sisa dari penghancuran tersebut ada yang meninggal dunia, dijadikan tawanan pemerintah Indonesia, juga ada yang kabur ke hutan, sehingga setelah semuanya reda gorombolan tersebut kembali lagi kekampung dan bertaubat, juga minta ijin untuk menetap di kampung tersebut.

SiGMA 141207. 9:42:01



[1] Pasar yang ramai jika pagi hari saja, mulai subuh hingga sekitar pukul sembilan, dan itu pun tidak setiap hari hanya pada hari-hari tertentu saja;

[2] Kerja membawakan barang orang lain (kuli pelat), yang dibayar setelah barang bawaannya sampai tempat tujuan;

[3] Ikan yang dikeringkan dengan hanya dibumbui garam saja, shingga rasanya asin hingga ketulangnya dan biasanya asin peda tersebut lebih mahal dibanding harga ikan asin biasa;

[4] Gerombolan, sama dengan kawanan perampok yang biasa menjarah perkampungan penduduk (penulis).

Tidak ada komentar: