Rabu, 02 April 2008

Inilah si Singa podium Kita, Galing Tea. Hore...

Bermunculannya grup-grup musik baru dalam blantika musik Indonesia, tentu membawa nuansa yang lebih berwarna dalam dunianya. Lebih berwarna lagi karena bukan saja grup-grup musik yang biasanya digawangi oleh kaum laki-laki muda atau biasa disebut grup band, melainkan juga banyak bermunculan penyanyi-penyanyi solo muda yang bertalenta. Mereka muncul kepermukaan bagaikan bunga yang sedang mekar. Elok rupawan.

Warna yang membingkai blantika musik nusantara tersebut, menjadi lebih sempurna dengan banyak diciptakannya lagu-lagu yang bernuansa religi. Mereka tidak melulu menggaungkan gairah mudanya yang rentan dengan cerita picisan, kisah cinta kaum muda yang sarat rengekan, atau nyanyian cengeng seorang lelaki yang haus perempuan. Melainkan, mereka (para musisi muda) juga merilis lirik-lirik yang menyejukan jiwa. Membasuh hati yang gersang. Menyelimuti raga yang kedinginan. Menyitir prilaku yang sudah kelewatan. Sungguh membanggakan. Karena tidak menjadi sesuatu yang istimewa jika lagu tersebut diciptakan oleh grup-grup Nasyid, karena memang begitulah nyanyian Nasyid.

Lirik-lirik religi tersebut mereka persembahkan dalam kemasan yang menyejukan telinga (bagi para pecinta musik slow rock, karena grup band kebanyakan aliran musiknya slow rock). Mereka mendesain albumnya dengan seindah mungkin, sehingga keindahan syair yang dialunkan menyiratkan bulir-bulir permata penghias jiwa. Kemudian secara perlahan merasuk kedalam hati para pendengarnya.

Grup band tersebut kalau saya sebutkan adalah, Ungu dan Gigi, serta penyanyi solonya yaitu Opik. Bahkan H. Abdullah Gymnastiar atau biasa disebut Aa Gym, juga Ust. Jefri Al-Bukhori. Mereka yang kita kenal sebagai da’i juga bernyanyi untuk berdakwah.

Mereka (grup band) tidak semata mencipta lagu untuk pasar yang menggiurkan. Akan tetapi dalam setiap bait yang digoreskan mengharap jadi ladang amal shalih mereka. Mengharap aplikasi dari sekedar alunan yang lebih sejuk jika sedang dalam keadaan sunyi. Hal ini pernah saya simak dalam sebuah Infotainmen pada salah satu televisi swasta, yang pada saat itu tengah memberitakan kiprah salah satu grup band, tepatnya bernama Ungu, dalam blantika musik Indonesia.

Saat itu, grup band yang digawangi oleh Pasha sebagai vokalisnya memberikan statemen bahwa album religi yang mereka keluarkan berharap untuk dapat membawa penggemarnya menyadari tentang Tuhannya (dalam lirik yang berjudul Allah Maha Besar), berharap agar menyadari bahwa tugas manusia sebagai hamba Allah adalah untuk bersujud. Berserah diri. Tanpa ada kuasa ketika Tuhan tak mengijinkannya, ungkap vokalis band Ungu tersebut. Begitu juga dengan Opik, yang pada mulanya ia sebagai musisi yang beraliran musik rock, kini ia beralih ke musik yang bernuansa keagamaan.

Akan tetapi, ketika menyimak pergolakan tersebut, ketika mereka berkata bernyanyi untuk berdakwah, apakah sah? Anjuran dakwah itu sendiri seperti apa? Lantas bagaimana hukum nyanyian tersebut menurut Islam, karena mereka berkutat pada dimensi keislaman?.


Allah Itu Indah, Mencintai Keindahan

Dalam sebuah nyanyian tersirat keindahan yang sangat sulit ditafsirkan dengan kata-kata, begitulah menurut Cak Nun dalam bukunya Slilit Sang Kiyai. Ia mengatakan bahwa keindahan yang kita rasakan adalah pancaran dari keindahan Allah.

Dan, ketika saya tuliskan Allah itu indah, dan mencintai keindahan, ini adalah sebuah prinsip yang didoktrinkan Rasulullah SAW. Saya bertumpu pada persepsi yang dilontarkan Yusuf Qardhawi, Islam Agma Peradaban. Ia mengungkapkan bahwa Rasul pernah berwasiat kepada para sahabatnya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, yang artinya :

Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terbetik sifat sombong seberat atom. Ada seorang berkata, “seseorang senang berpakaian bagus.” Nabi bersabda, “sesungguhnya Allah Mahaindah, menyukai keindahan. Sedangkan sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim).

Bahkan ada sebagian orang yang mempunyai persepsi bahwa menikmati keindahan itu kontra terhadap keimanan atau menyebabkan terperosok ke dalam kesombongan yang dibenci Allah dan seluruh manusia.

Dalam hadits di atas jelas bahwa, sombong adalah sikap meremehkan orang lain dan tentunya menjadi sesuatu yang tidak indah dirasakan, dan di sini dijelaskan bahwa orang yang sombong tidak akan masuk surga. Kemudian dalam baris selanjutnya, dalam penggalan sabda Nabi, tertulis redaksi “sesungguhnya Allah Mahaindah, menyukai keindahan.”

Berarti sudah jelas, karena menurut Yusuf Qardhawi, bahwa nyanyian itu adalah kata-kata, jika kata-kata itu indah maka keindahanlah yang ada. Begitu juga sebaliknya. Lantas bagaimana kalau lagu tersebut diiringi dengan alunan musik? Untuk menjawab pertanyaan ini, berarti kita mencantumkan hukum musik menurut islam.


Hukum Musik Menurut Islam

Banyak kalangan atau golongan yang mengatakan bahwa jika mendengarkan musik adalah mendengarkan kata-kata setan. Namun, ada juga kalangan yang mengatakan kalau mendengarkan musik itu boleh-boleh saja asal tidak menyita waktu. Tentunya hal ini menjadi sebuah kebimbangan bagi orang awam seperti saya pribadi.

Namun kebingungan tersebut tidak berlanjut hingga kini, karena lebih kurang setengah tahun yang lalu saya menemukan sebuah buku yang dikarang oleh salah seorang ulama Mesir, yaitu Yusuf Qardhawi. Dengan judul bukunya Islam Agama Peradaban yang buku ini adalah terjemahan dari judul aslinya Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim. Penerjemah buku tersebut Abdus Salam Masykur, Lc.

Buku yang diterbitkan di Intermedia tersebut, memuat tulisan tentang hukum musik menurut islam. Dan hukum musik menurut islam dalam buku tersebut lebih kurangnya adalah terbagi dua yaitu halal dan haram.

Nyanyian, baik dibarengi dengan alunan musik atau tidak pada dasarnya halal, apabila nyanyian tersebut baik. Mereka sepakat atas haramnya nyanyian yang berisi kata-kata kotor dan jorok. Karena pada dasarnya, nyanyian itu tidak lain dan tidak bukan adalah perkataan. Oleh karenanya, ia akan baik bila disusun dengan kata-kata baik dan akan jelek bila dirangkai dari kata-kata yang jelek. Jadi perkataan yang kandungan isinya haram, maka haram pula hukumnya. Bagaimana pendapat anda, jika ternyata perkataan yang haram itu dipadu dengan irama merdu yang mengesankan?

Mereka sepakat atas bolehnya nyanyian yang tidak berisikan kata-kata kotor dan jorok, yang tidak menimbulkan rangsangan birahi dan tidak menggunakan alat musik, yang dinyanyikan pada momen-momen kegembiraan seperti disyariatkan Allah, seperti resepsi pernikahan, menyambut orang yang datang dari rantau, hari raya dan semisalnya. Semua itu dengan syarat bahwa penyanyi bukan wanita yang ditonton laki-laki.

Masih dalam bukunya Yusuf Qardhawi, ia juga menuliskan bahwa ada beberapa perbedaan pendapat diluar kategori di atas. Di antaranya ada yang membolehkan semua nyanyian, baik dengan musik maupun tanpanya, bahkan ada yang menganggapnya sebagai amal sunnah. Sebagian yang lian melarang nyanyian jika disertai musik. Di antara mereka ada pula yang melarang mentah-mentah nyanyian, baik menggunakan musik maupun tidak, dan menganggapnya sebagai perbuatan haram, bahkan bisa naik peringkatnya menjadi dosa besar.

Begitulah hukum musik menurut islam yang saya ambil dari buku tersebut di atas. Dan apabila masih mengambang tentunya lebih baik jika anda mencari referensi yang lebih majemuk. Karena ini hanya bagian dari kedhoifan saya sebagai manusia.



*Penulis adalah Mahasiswa IAIN “SMH” Banten Jurusan PAI.

SiGMA, 19 Februari 2008

Tidak ada komentar: