Sabtu, 19 April 2008

Sayembara


Ironisme Teritorial
Oleh Endang Sahroni

Banten sebagai salah satu propinsi terdekat dari ibu kota Indonesia, Jakarta, juga sebagai penghubung antara pulau Jawa dan Sumatera yang menamakan dirinya “Banten Gerbang Investasi Indonesia.” Akan tetapi, kedekatannya dengan ibu kota Indonesia ini tidak memengaruhi keadaan masyarakatnya untuk hidup sejahtera. Yang paling menyedihkan, di ibu kota propinsi sendiri, Serang, masih terdapat masyarakat yang harus makan nasi aking. Makanan yang lebih layak jika dimakan itik. Selain itu, masih di daerah Serang, tepatnya di kampung Kilasah, Kecamatan Sawah Luhur, masyarakat masih kesulitan mendapatkan air bersih.

Terlebih di kabupaten Lebak, karena adalah kabupaten termiskin di Banten. Jika kita pernah melancong ke peloksok kabupaten ini, tentu akan melihat segolongan masyarakat yang termarjinalkan oleh para elit pemerintahan yang jauh hidup dalam gelimang komunitas mapan. Contoh kecil di kecamatan Malingping, kecamatan ini terletak lebih kurang 150 Km. dari pusat pemerintahan kabupaten, yaitu Rangkasbitung. Jika mereka ingin berkunjung ke ibu kota kabuaten harus memakan waktu hingga empat jam lamanya. Karena selain jarak yang jauh, juga karena akses transportasi yang kurang memadai, seperti jalan-jalan yang rusak, alat transportasi umum yang terbatas. Sehingga masyarakat setempat merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Dan mereka ingin memisahkan diri dari kabupaten Lebak, menjadi kabupaten Cilangkahan.

Yang lebih menyedihkan, sampai saat ini ada beberapa desa di kecamatan Wanaisalam (yang baru empat tahun dipekar dari kecamatan Malingping), Lebak yang belum teraliri listrik, hal tersebut menghambat laju informasi dari pusat atau daerahnya sendiri yang menyebabakan sikap tertututp bagi masyarakat setempat. Juga mengakibatkan banyak di antara masyarakat yang masih berparadigma “Jeung naon sakola, parasiden geus aya,”1 apabila ada sebagian masyarakat yang menganjurkan anaknya untuk sekolah lebih dari lulus SD. Dan, jika dihitung dari lebih kurang seribu jiwa penduduk di desa tersebut, hanya 3% yang dapat melanjutkan pendidikan hingga ke SLTA, itu pun hanya ke SLTA. Sungguh menyedikahkan.

Kaum Opportunist

Dari minimnya penduduk yang berpendidikan ini, membuat santapan empuk bagi para politisi yang berobsesi menjadi kepala pemerintahan, baik presiden, gubernur, bupati bahkan kepala desa sekalipun. mereka memanfaatkan keadaan itu untuk mengambil suara mereka dengan iming-iming uang sekian rupiah. Atau dogma yang didoktrinkan oleh sebagian masyarakat yang berpengaruh, seperti tokoh masyarakat, para ustadz dll. Jika kata para tokoh berpengaruh tersebut baik, maka mereka akan memilih apa atau siapa yang diinstruksikan orang tesrebut. Contohnya, saat pra pilkada Banten, saya mendengar ada pertemuan di rumah kepala desa, inti pembicaraannya mengarah pada kampanye terselubung (tafsiran saya dari cerita yang diberikan orangtua saya-penulis). Para tokoh masyarakat yang dikumpulkan tersebut dititipi pesan untuk mensukseskan pencalon yang memeprakarsai pertemuan itu.

Selain karena kurangnya pendidikan yang dienyam, penduduk tersebut juga memiliki sipat kekeluargaan yang mengakar dari nenek moyang mereka. Lalu muncul prinsip “Kumaha Abah Bae” (KAB)2. Jika untuk menentukan pemimpin menggunakan prinsip tersebut, maka beginilah jadinya Negara kita. Terlebih dalam penentuan pemimpin sekarang dengan cara pemilihan langsung, yang negatifnya jika pemilihnya bodoh, maka kemungkinan besar akan terpilih orang bodoh pula.

Budaya Miskin

Minimnya penduduk yang berpendidikan juga mengakibatkan kemiskinan yang membudaya, turun temurun. Yang diakibatkan oleh paradigma yang didoktrinkan para orangtua tentang kewajiban untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin seperti yang saya tuliskan di atas, sehingga timbul fenomena, jika bapaknya hanya menamatkan SD maka anaknya pun tidak akan lebih dari bangku SD. Dan secara tidak langsung membuat kemiskinan semakin langgeng.

Jikapun ada perubahan dari sikap anak keturunannya, hanya berubah dari keinginan berprofesi beda dengan orangtuanya. Misalkan, anak muda sudah enggan lagi untuk menjadi petani, padahal pertanianlah yang membuat mereka bertahan walau dengan cara terseok-seok akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.

Anak muda di perkampungan yang sedikitnya mendapatkan informasi yang sarat tafsir ini mengaplikasikan informasi tersebut dengan merubah sikap hidup lewat mengadukan nasib ke kota bahkan ke luar negeri, padahal mereka tidak mempunyai keterampilan yang dapat dibanggakan. Untuk mewujudkan cita-cita anaknya yang ingin merubah tarap hidup dengan cara melancong ke perkotaan atau ke luar negeri ini, tidak sedikit orangtua yang menjual tanah miliknya. Akibatnya, tanah yang dijadikan lahan pertanian semakin menyempit, bahkan ada yang tidak punya sama sekali.

Lahan tersebut biasanya dijual kepada orang kaya dari kota, yang menanamkan investasi dengan membeli tanah sebanyak mungkin, kemudian lahan tersebut akan digarap lagi oleh penduduk asli, dan hasilnya digondol ke kota, jika berkata kasar, mungkin inilah tuan tanah era baru, yang menjajah dengan cara memeberi upah tidak selayaknya. Hanya Rp 10.000,- per hari. sedangkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja belum cukup.

Pergeseran nilai pada anak muda kampung tersebut juga dipicu oleh kesejahteraan petani. Petani dikampung tersebut tidak pernah beranjak tarap prekonomiannya, karena dalam menggarap sawah atau ladang lebih besar pasak dari pada tiang. Dengan harga pupuk diatas lebih mahal dari harga gabah. Jika musim panen tiba, hampir setengah dari hasil pertanian akan di keluarkan untuk memebayar pupuk –yang biasanya dibeli dengan bayaran pada musim panen– sehingga petani hanya akan merasakan hasil panen sebulan atau dua bulan pasca panen, setelah itu kembali pailit dan beras pun harus beli dari pasar.


SiGMA 080408 15.00 Wib. Rame.


1 Buat apa sekolah, presiden sudah ada

2 Asal bapak senang atau Bagaimana orangtua saja

Tidak ada komentar: