Rabu, 19 Januari 2011

Tangsel Jilid 3

Tak Ada Dasar Hukum Penentuan Penjabat Walikota Tangsel Ketiga

PAMULANG- Setelah habisnya masa jabatan Penjabat Walikota Tangsel Eutik Suarta Selasa (18/1). Banyak kalangan menunggu siapa gerangan pejabat yang akan dinobatkan menjadi Pj Walikota Tanagsel? Banyak juga yang mengumbar informasi bahwa calon Penjabat Walikota Tangsel telah disiapkan. Padahal, jika melihat Peraturan yang menjadi dasar pembentukan Kota Tangsel, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008, keberadaan Pj Walikota Tangsel, setelah Eutik Suarta sudah tak mungkin lagi. Hal ini disebabkan, dalam aturan tersebut menyantumkan bahwa Penjabat Walikota Tangsel tidak boleh lebih dari dua.
"Kalau mau dilantik lagi Penjabat Walikota Tangsel ketiga, itu dari mana dasar hukumnya? Karena dalam Undang-undang pembentukan Kota Tangsel, apabila tidak mengangkat Penjabat Walikota lebih dari dua," tegas Direktur Lembaga Kebijakan Publik (LPK) Tangerang Ibnu Jandi saat ditemui Tangerang Ekspres di kediamannya, Rabu (19/1).
Diterangkan Ibnu, sebetulnya jika setelah ditetapkan Penjabat Walikota kedua, kemudian Tangsel belum memeiliki walikota devinitif, maka aturan dalam Undang-undang Nomor 51 mengharuskan Tangsel kembali kepada kabupaten atau kota induknya. Hal ini disebabkan selambat-lambatnya dua tahun setelah disahkan pemekarannya, daerah tersebut harus sudah memiliki struktur pemerintahan lengkap. Dalam hal ini, keberadaan kepala daerah devinitif. "Karena, jika setelah dua tahun belum ada kepala daerah devinitf maka undang-undang menilai bahwa pemekaran itu tidak siap. Atau Pemerintah Provinsi Banten tidak siap melakukan pemekaran Kota Tangsel," terangnya.
Terlepas dari adanya kisruh Pemilukada yang menyebabkan dilakukannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Tangsel, namun keberadaan Undang-Undang 51 tetap tak bisa dilanggar begitu saja. Sebab kedudukan Undang-undang merupakan payung hukum tertinggi dari aturan mana pun. Termasuk keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyarankan PSU. "Yang jelas apa pun penyebabnya, Undang-undang berkata bahwa selambat-lambatnya dua tahun daerah pemekaran sudah memiliki pemerintahan lengkap. Maka jika tidak, secara langsung daerah yang dipekarkan tersebut menjadi gugur," ungkapnya.
Sejatinya, sebelum hal ini terjadi, penjabat Walikota Tangsel, atau birokrasi di Tangsel, seperti Komisi Pemilhan Umum (KPU) tidak mengabaikan aturan tersebut. Sehingga penyelenggaraan Pemilukada dilakukan sejak dulu sehingga jika pun diulang, tak terbentur dengan limit waktu yang diatur dalam Undang-undang. Oleh karenanya, kunci dari hal ini mutlak berada di ranah KPU dan birokrasi Tangsel dan Pemprov Banten yang nampaknya mengabaikan aturan perundang-undangan. "Sekarang memang nampaknya semua orang mengabaikan aturan itu. Padahal, itu merupakan aturan tertinggi yang mestinya dijadikan dasar hukum utama," tuturnya.
Maka, jika tidak ingin ada aturan yang dilanggar. Sehingga dalam perjalanan ini Kota Tangsel tak memiliki aturan hukum, lanjut Ibnu, maka birokrasi Tangsel mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Karena dengan tidak adanya aturan yang jelas, maka akan merembet pada pelanggaran lainnya. Misalnya penandatanganan APBD atau dana pembiayaan PSU. "Kalau APBD atau dana untuk PSU disahkan setelah Eutik lengser, maka itu tidak sah karena secara hukum keberadaan Penjabat Walikotanya tidak sah," bebernya.
Senada dikatakan Direktur Local Goverment Study (Logos) Kota Tangsel Muhammad Kholis Hamdi, terlepas dari darurat akan keberadaan pimpinan di Tangsel, aturan tetap tidak bisa dilanggar. Seperti payung hukum untuk melantik Penjabat Walikota Tangsel pengganti Eutik, semestinya stake holder di Tangsel melakukan upaya untuk mendapatkan dasar hukum yang jelas. "Karena ini darurat, maka saya berharap stake holder mendorong Kemendagri (Kementrian Dalam Negeri) untuk membuat Perpu," tegas Kholis.
Yang ditakutkan, lanjut Kholis, ketika penentuan Penjabat Walikota Tangsel dengan tanpa dasar. Sebab Undan-undang Nomor 51 Pasal 9 ayat 8 tentang Pembentukan Kota Tangsel tidak lagi berfungsi, akan digunakan sebagain kalangan untuk menumpangi perhelatan demokrasi di Tangsel. Sehingga yang akan terjadi malah menambah permasalahan, bukan solusi mencapai kepemilikan Walikota Tangsel devinitif. "Kalau hal ini terjadi, maka hanya akan jadi bumerang, dan tentu saja menajadi akan jadi sia-sia. Dan saya yakin semua orang Tangsel juga tak menginginkan hal itu terjadi, yang akibatnya akan mengembalikan Tangsel ke kabupaten induknya," terangnya. (esa)

Tidak ada komentar: